Artikel: Pemberontakan DI/ TII Tahun 1949-1962

 Pemberontakan DI/TII Tahun 1949-1962



Sebuah Artikel

@Peka! (petani_kata)


Akhir-akhir ini sering terdengar isu pendirian khilafiah yang terus menerus  berhembus. Contoh simplenya seperti kasus makanan tradisional yang di cap haram dan terakhir yang paling baru adalah kasus beberapa profesi yang “Katanya” haram. Entah sebagai propaganda maupun gerakan nyata, faktanya itu adalah lonceng bahaya yang mengancam keutuhan NKRI dan mengecam ideologi Pancasila. Mirisnya, isu tersebut selalu ditanggapi oleh warga +62 dengan serius di dunia maya. Tak terelakan, peperangan online pun terjadi.

Penulis yang notabene sebagai mahasiswa sejarah (apa hubungannya Tot!!), sangat miris melihat dan menyaksikan War Online tersebut, jujur! Walaupun sangat seru si melihat orang beradu argumentasi di linimasa dunia maya. Seoalah-olah dialah yang paling benar dan paling pintar. 

Bukan hal baru memang mengangkat isu agama menjadi bahan adu domba. Indonesia sebagai negara yang kaya akan segalanya; dari kekayaan alam hingga bahasa, agama dan suku budayanya, (Kecuali satu sih, sumber daya manusianya masih goblok.. Upss!) memang menjadi suatu kebinekaan yang bilamana dirawat dan dijaga pasti akan menjadi sumber kejayaan. Tentu, pihak luar tidak sebodoh itu membiarkan negara ini maju. Maka dari itu mereka memanfaatkan celah tersebut untuk membuat kita beradu mulut. Dan yang mereka harapkan adalah kita hancur berantakan.

Menilik kejadian yang memang dewasa ini menjadi ramai di perbincangkan, penulis yang notabene mahasiswa sejarah ini mau mengaitkan bahwasannya isu pendirian khilafiah memang sudah dari dulu. Kalau boleh terus terang nih ya, out of topic dulu tidak papa kan pembaca yang pecundang? Sebenarnya penulis sangat males banget mengerjakan tugas ini karena tidak ada feedbacknya. Tapi mau bagaimana lagi sebagai anggota HMJ SPI IAIN Purwokerto yang bertanggung jawab, (walau disini saya hanya berpegang rasa pada kata “Rikuh” ke Pak Afuk) penulis akan melakukan tugas ini walaupun tidak ada fee.

Ah.su! dahlah... Kok jadi melebar ke situ Tot!! Back to topic again.

Sejarah diciptakan untuk menjadi sebuah bahan pembelajaran, bukan sebagai landasan pembenaran atas tindakan ujaran kebencian. Begitulah kira-kira kata-kata bijak yang penulis baca di Instagram qoutes milik Peka! (petani_kata). Bangsa kita memang telah banyak mengarungi pelbagai kejadian, dari dulunya yang masih berupa Nusantara dan terdiri dari berbagai kerajaan hingga masuknya bangsa penjajah, pra kemerdekaan dan perang kemerdekaan. Semua tak luput dari goresan tinta sejarah. Paska kemerdekaan pun bangsa kita masih menghadapi banyak konflik diantaranya yang akan penulis ulas ini. Pemberontakan DI/TII yang memproklamirkan pembentukan Negara Islam Indonesia. Gerakan pemberontakan  ini adalah akibat kekecawaan SM Kartosoewirjo (Imam NII) atas keputusan perjanjian Renvile. FYI, perjanjian Renvile adalah perjanjian diplomasi Belanda-Indonesia setelah gagalnya perjanjian Linggarjati. Menurutnya, perjanjian renvile ini merugikan Indonesia karena wilayah Indonesia menjadi lebih sempit. Menurut penulis juga begitu, karena perjanjian renvile membuat wilayah RI hanya menjadi sepertiga bagian; Sumatra, Jawa tengah dan Yogyakarta. 

Karena kekecewaan tersebut SM Kartosoewirjo mengumumkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1959 di Jawa Barat yang waktu itu masih dalam kekuasaan Belanda. Di dukung oleh beberapa tokoh seperti Daud Beureuh dari aceh yang bergabung dengan NII pada tahun 1953, alasannya karena ia kecewa propinsi aceh dilebur dengan sumatra utara dan juga kecewa terhadap beredarnya rumor les hitam. Kahar Muzakar dari Sulawesi selatan juga memutuskan untuk bergabung dengan NII pada tahun 1950, alasannya karena kecewa terhadap tidak diterimanya masuk di TNI, dibandingkan eks KNIL. Begitupun dengan Ibnu Hadjar  dari Kalimantan selatan yang bergabung dengan NII pada tahun 1950, alasan Ibnu Hadjar juga sama dengan Kahar Muzakar, dirinya kecewa terhadap tidak diterimanya masuk di TNI dibandingkan eks KNIL. Bukan berarti diwilayah RI tidak ada yang ikut dengan NII, Amir Fatah dari Jawa tengah  pada tahun 1950 juga memutuskan bergabung dengan NII yang menurutnya sepemikiran dan seiman.

 DI/TII terkenal sangat kejam, mereka akan membunuh yang menurut mereka kafir dalam definisinya. Tidak peduli itu rakyat sipil, tidak pandang bulu baik itu orang tua, anak-anak, maupun wanita, semua akan dieksekusi tanpa rasa iba. Melihat keganasan DI/TII, pemerintah RI tidak tinggal diam, selain meredam pemberontakan melalui operasi militer, KH Idham Chalid selaku wakil perdana mentri II merangkap Kepala Badan Keamanan juga membentuk KPK (Kiai-kiai Pembantu Keamanan). KPK diketuai oleh KH Muslich dari Jakarta dan anggotanya ditunjuk dari kiai dari masing-masing wilayah dimana terdapat DI/TII, kecuali di Jawa Barat (2 kiai) karena memang daerah ini yang paling parah. KPK melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya.

Tidak dipungkiri memang baik dulu maupun sekarang, semua pergolakan di RI selalu disokong dan dicampuri dari pihak luar. Tak terkecuali seperti pemberontakan DI/TII ini, pihak Belanda dan APRA lagi-lagi terlibat. Kerjasama DI/TII-APRA terutama terlihat di Bogor. KesatuanTII yang beroparasi di daerah itu dilengkapi senjata-senjata dan amunisi dari APRA. Piet Colson, ajudan Westerling, berulang kali mendampingi perwira-perwira APRA pada pertemuan dengan komandan-komandan TII. Selain itu DI/TII dibawah pimpinan SM Kartosoewirjo juga didanai dan dipersenjatai oleh Jendral Spoor.

Akan tetapi, atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa, Pemberontakan DI/TII berhasil direda ditandai ditangkapnya SM Kartosoewirjo melalui operasi pagar betis dan menyerahnya para tokoh NII. Daud Beureuh menyerah setelah dicapainya kesepakatan dalam kerukunan masyarakat aceh dan menjadikan aceh sebagai daerah istimewa tahun 1962. Kahar Muzakar juga tewas ditembak pasukan Siliwangi di tepi Sungai Lasalo tahun 1965. Ibnu Hadjar juga menyerahkan dirinya pada 1963 dan dihukum mati pada 1965. Melalui operasi Banteng Raider pasukan Amir Fatah juga berhasil di tumpas, terutama di Pekalongan dan Banyumas.

Nahh,, bagaimana para pembaca yang pecundang?

Isu Khilafiah memang bukan dari sekarang-sekarang, ada sedari dulu bahkan hampir menggulingkan kekuasaan. Mungkin benar statment dari Bung Besar :

“Musuh yang kalian hadapi akan lebih susah dibandingkan dengan musuh yang saya hadapi, saya berjuang melawan penjajah sedang kalian berperang melawan bangsamu sendiri”

Ir. Soekarno

Jadi,,

Sekian dari saya tertua dari ketuanya para pecundang, walaupun sekelumit tulisan ini tiada arti karena tidak mungkin terbaca oleh kalian para pejuang mimpi.

Akhir kata dari Peka! (petani_kata), jangan berhenti membaca. Bacalah! Bukankah perintah Tuhan di ayat pertamanya diharuskan membaca? Tidak mesti harus membaca buku jika memang kamu malas bilamana melihat tebalnya kertas yang membisu, mulailah dari membaca quotes di Instagram, Thread di tweet ataupun komik di Weebton. Bacalah apa yang kamu sukai terlebih dahulu karena itu akan menumbuhkan minat bacamu.

Asli!!

Bukan apa-apa, saya hanya miris melihat generasi sekarang terutama dilingkungan kampus penulis pribadi, membaca semacam menjadi sebuah penyakit alergi, padahal?

Negara kita adalah peringkat dua dari bawah dalam hal minat baca.

 Go for it menuju Generasi emas 2045!!

Kalau tidak dari sekarang terus akan mulai dari kapan?

Kalau bukan dari diri sendiri, lalu siapa lagi?

Salam hangat dari saya!

petani_kata.


Komentar